BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Manajemen
cenderung mengelola laba, maksudnya adalah untuk meningkatkan laba sesuai
dengan yang diinginkan dan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan melakukan
manipulasi laporan keuangan agar menunjukan laba yang memuaskan meskipun tidak
sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Menurut Dechow (dalam
siallagan dan machfoedz 2006) manajemen yang ingin menunjukkan kinerja yang
baik dapat termotivasi untuk memodifikasi laporan keuangan agar menghasilkan
laba seperti yang diinginkan oleh pemilik. Hal ini dapat menimbulkan manipulasi
laba yang sering diartikan sebagai manajemen laba. Ciri utama dari lemahnya
corporate governance adalah tindakan mementingkan diri sendiri di pihak manajer
perusahaan. Salah satun mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahan keagenan adalah dengan menerapkan mekanisme tata kelola perusahaan
yang baik. Untuk tujuan menunjukkan prestasi perusahaan dalam menghasilkan
laba, manajemen cenderung mengelola laba secara oportunis, yang artinya untuk
meningkatkan laba sesuai dengan yang diinginkan dan menguntungkan pihak–pihak
tertentu dan melakukan manipulasi laporan keuangan agar menunjukkan laba yang
memuaskan meskipun tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Manajemen
perusahaan dapat menentukan kebijakan penggunaaan metode akuntansi dalam
menyusun laporan keuangan untuk mencapai tujuan yang diinginkan perusahaan.
Menurut Dechow (dalam Siallagan dan Machfoedz 2006) manajemen yang ingin
menunjukkan kinerja yang baik dapat termotivasi untuk memodifikasi laporan
keuangan agar menghasilkan laba seperti yang diinginkan oleh pemilik. Hal ini
diprediksi dapat menimbulkan manipulasi laba yang sering diartikan sebagai
manajemen laba. Banyak kasus manipulasi keuangan yang muncul karena perusahaan
melakukan earning management , misalnya kasus
manipulasi laporan keuangan yang dilakukan Enron, World Com, dan sebagainya.
Terjadinya manipulasi laporan keuangan tersebut karena lemahnya penerapan corporate
governance. Ciri utama dari lemahnya corporate
governance adalah adanya tindakan mementingkan diri
sendiri di pihak para manajer perusahaan (Khomsiyah dan Rahayu 2004). Salah
satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan keagenan
tersebut adalah dengan menerapkan mekanisme tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance).
Untuk
menghasilkan kinerja perusahaan yang baik pihak agent diharapkan menyusun
laporan keuangan berdasarkan akuntansi berbasis akrual (accrualsaccounting).
FASB (dalam Ujiyantho dan Pramuka 2007) menyebutkan bahwa akuntansi akrual
mempunyai keunggulan bahwa informasi laba perusahaan dan pengukuran komponennya
berdasarkan akuntansi akrual secara umum memberikan indikasi lebih baik tentang
kinerja ekonomi perusahaan daripada informasi yang dihasilkan dari aspek
penerimaan dan pengeluaran kas terkini. Akuntansi akrual juga memiliki
kelemahan, yaitu akuntansi akrual merupakan aturan yang tidak sempurna dan
mengaburkan laporan keuangan yang bertujuan memberikan informasi aliran kas dan
kapabilitas perusahaan dalam menghasilkan kas. Kekaburan informasi ini
diakibatkan akuntansi akrual yang rumit dan rentan akan manipulasi. Zmijewski
& Hagerman (dalam Ujiantho dan Pramuka 2007) mengemukakan bahwa kelemahan
akuntansi akrual ini menimbulkan peluang bagi manajer untuk mengimplementasikan
strategi manajemen laba. Strategi ini dikategorikan menjadi pilihan
kebijakan/metode akuntansi dan discretionary accruals
(kebijakan pengestimasian akuntansi). Boediono (2005) menjelaskan bahwa
mekanisme good corporate governance memiliki kemampuan
dalam kaitannya menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan
informasi laba. Laporan keuangan haruslah menunjukkan informasi yang
sebenarnya. Jika tidak, dapat menyesatkan pihak pengguna laporan. Kebijakan dan
keputusan yang diambil akan berpengaruh terhadap penilaian kinerja (Ujiyantho
dan Pramuka 2007).
Dalam
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika
satu orang atau lebih (principal)mempekerjakan orang lain (agent) untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Ujiyantho dan
Pramuka, 2007). Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik
(pemegang saham). Konflik ini juga tidak terlepas dari kecenderungan manajer
untuk mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain,
karena walaupun manajer memperoleh kompensasi dari pekerjaannya, namun pada
kenyataannya perubahan kemakmuran manajer sangat kecil dibandingkan perubahan
kemakmuran pemilik atau pemegang saham (Jensen dan Murphy, 1990 dalam
Midiastuty dan Machfoedz, 2003).
Menurut
Healy dan Wahlen (1998) dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) manajemen laba
terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan
dan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai dasar kinerja perusahaan
yang bertujuan menyesatkan pemilik atau pemegang saham (stakeholders) atau
untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi
yang dilaporkan. Manajemen laba dapat terjadi karena manajer diberi keleluasaan
untuk memilih metode akuntansi yang akan digunakan dalam mencatat dan
mengungkapkan informasi keuangan privat yang dimilikinya. Selain itu perilaku
manipulasi ini juga terjadi karena adanya asimetri informasi (information
asymmetry) yang tinggi antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai
sumber, dorongan atau akses yang memadai terhadap informasi untuk memonitor
tindakan manajer (Richardson, 1998 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007), sehingga
manajemen akan berusaha memanipulasi kinerja perusahaan yang dilaporkan untuk
kepentingannya sendiri (Morris, 1987 Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Corporate governance
merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang
meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris,
para pemegang saham dan stakeholders lainnya. Corporate governance juga memberikan
suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran dari suatu
perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja
(Deni, Khomsiyah dan Rika, 2004 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007), sedangkan
hubungannya dengan kinerja, laporan keuangan merupakan dasar untuk penilaian
kinerja perusahaan. Laporan keuangan yang sering digunakan untuk mengukur
keberhasilan operasi perusahaan untuk suatu periode tertentu adalah laporan
laba rugi, namun laba yang dihasilkan dalam laporan laba rugi seringkali
dipengaruhi oleh metode akuntansi yang digunakan (Kieso dan Weygandt, 1995
dalam Ujiyanthodan Pramuka, 2007), sehingga laba yang tinggi belum tentu
mencerminkan kas yang besar. Sedangkan laporan arus kas mempunyai nilai lebih
untuk menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow)
menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan dan
juga beban yang bersifat tunai yang benar-benar sudah dikeluarkan oleh
perusahaan (Pradhono, 2004 dalamUjiyantho dan Pramuka, 2007). Cash flow return
on assets (CFROA) digunakan sebagai salah satu alat untuk melakukan pengukuran
kinerja perusahaan yang menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan untuk
menghasilkan laba operasi, dengan menggunakan CFROA maka akan dapat lebih memfokuskan
pada pengukuran kinerja perusahaan saat ini karena CFROA tidak terikat dengan
harga saham (Cornet et al, 2006 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
Laporan
keuangan adalah sebuah produk informasi yang dihasilkan yang sangat penting
yang berkaitan dengan kondisi perusahaan sehingga dalam penyusunannya tidak
bisa terlepas dari proses penyusunannya. Setiap kebijakan dan keputusan yang
diambil dalam prosespenyusunan laporan keuangan akan sangat mempengaruhi sekali
dalam penilaian kinerja perusahaan. Pada penelitian Nasution dan Setiawan
(2007) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Corporate Governance Terhadap
Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia. Menyatakan bahwa secara
individual, komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba perusahaan perbankan. Hal ini menandakan bahwa mekanisme corporate
governance yang diajukan melalui keberadaan pihak independen dalam dewan
komisaris mampu mengurangi tindak manajemen laba yang terjadi dalam perusahaan
perbankan, sedangkan penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) melakukan
penelitian mengenai Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan
Indikasi Manajemen Laba. Menyatakan Bahwa kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional berhubungan negatif dengan manajemen laba, sedangkan
ukuran dewan direksi berhubungan dengan manajemen laba. Dari hasil ini
disimpulkan bahwa mekanisme kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional
dan ukuran atau jumlah dewan direksi mampu mengurangi konflik kepentingan yang
timbul dari hubungan keagenan anatara manajemen dengan pemegang saham
(shareholders).
II.
IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Peran
corparate governance pada kepemilikan institusional yang dapat mempengaruhi
manajemen laba
2. Peran
corparate governance pada kepemilikan manajerial yang dapat mempengaruhi
manajemen laba
3. Peran
corparate governance pada proporsi dewan komisaris yang dapat mempengaruhi
manajemen laba
4. Peran
corparate governance pada ukuran dewan komisaris yang dapat mempengaruhi
manajemen laba
5. Kepengaruhan
manajemen laba terhadap kinerja keuangan.
III.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam makalah penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah kepemilikan institusional
berpengaruh terhadap manajemen laba?
2.
Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh
terhadap manajemen laba?
3.
Apakah proporsi dewan komisaris
independen berpengaruh terhadap manajemen laba?
4.
Apakah ukuran dewan komisaris
berpengaruh terhadap manajemen laba?
5.
Bagaimana manajemen laba dapat
berpengaruh terhadap kinerja keuangan?
IV.
TUJUAN
PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui penjelasan atau bukti tentang kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba
2. Untuk
mengetahui penjelasan atau bukti tentang kepemilikan manajerial terhadap
manajemen laba
3. Untuk
mengetahui penjelasan atau bukti tentang proporsi dewan komisaris independen
terhadap manajemen laba
4. Untuk
mengetahui penjelasan atau bukti tentang ukuran dewan komisaris terhadap
manajemen laba
5. Untuk
mengetahui penjelasan atau bukti tentang manajemen laba terhadap kinerja
keuangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1
Teori
Keagenan (Agency Theory)
Konsep
teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Prinsipal
mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk
pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen
(Anthony dan Govindarajan 2005). Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas
saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipal, dan CEO (Chief Executive
Officer ) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak
sesuai dengan kepentingan prinsipal. Konflik inilah yang kemudian dapat memicu
biaya agensi. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan biaya agensi dalam tiga
jenis: biaya monitoring (monitoring cost), biaya bonding (bonding cost), dan
kerugian residual (residual cost).
Eisenhardt (1989), dalam Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada
umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Dari asumsi sifat dasar
manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara
manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut. Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar
yang digunakan untuk memahami corporate governance. Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent)
dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen
terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentinganprincipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Timbulnya
manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Sebagai agen, manajer
secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik
(principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan
kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda didalam
perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002).
Eisenhardt
(1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia
yaitu: (1) manusia pada umumya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir
terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat
dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic,
yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004). Manajer sebagai
pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham).
Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi
akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para
pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi
yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Ketidakseimbangan penguasaan
informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri
informasi (information asymmetry). Asimetri antara manajemen (agent) dengan
pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang
saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian Richardson (1998)
menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan manajemen
laba.
2.1.2
Corporate
Governance
Corporate
Governaance merupakan proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengelola bisnis serta urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan
kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan
nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders yang lain. (Malaysian Finance Committee on Corporate
Governance February 1999). Corporate Governance adalah seperangkat peraturan
yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya. sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain
sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. (Forum for Corporate
Governance in Indonesia / FCGI). Corporate governance adalah suatu proses dan
struktur yang digunakanoleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan
usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai Pemegang Saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. (Keputusan Menteri
BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002) Good corporate governance juga merupakan sistem
yang harus menjamin terpenuhinya kewajiban perusahaan kepada shareholders dan
seluruh stakeholders, dan harus mampu bekerjasama dengan stakeholders dalam
mencapai tujuan perusahaan. Buruknya hubungan perusahaan dengan stakeholders
dapat menimbulkan hambatan dan gangguan pada jalannya operasi
perusahaan.Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan good
corporate governance bagi bank umum, good corporate governance adalah suatu
tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency),
akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responbility), independensi
(independency), dan kewajaran (fairness).
Corporate
governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders). Corporate governance juga dapat digunakan untuk
menjelaskan peranan dan perilaku dari dewan komisaris, dewan direksi, pengurus
(pengelola) perusahaan, dan para pemegang saham.
1.
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi
(Beiner et al, 2003). Dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator
persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh modal saham yang
beredar.
2.
Kepemilikan
Manajerial
Kepemilikan
manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh
modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005). Indikator yang digunakan
untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang
dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar.
3.
Proporsi
Dewan Komisaris Independen
Komisaris
independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta
bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi
kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2004). Proporsi
dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase
anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran
anggota dewan komisaris perusahaan.
4.
Ukuran
Dewan Komisaris
Ukuran
dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris perusahaan (Beiner et
al, 2003). Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan manajemen,
dan memberikan nasehat kepada manajemen jika dipandang perlu oleh dewan
komisaris (KNKG, 2004). Ukuran dewan komisaris diukur dengan menggunakan
indikator jumlah anggota dewan komisaris suatu perusahaan.
2.1.3
Manajemen
Laba
Manajemen
laba yaitu suatu kemampuan untuk memanipulasi pilihan–pilihan yang tersedia dan
mengambil pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang diinginkan
(Belkaoui 2004). Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam
manajemen laba, yaitu: Taking a Bath, Income Minimization, Income Maximization,
dan Income Smoothing. Scott (2000) juga mengemukakan beberapa motivasi
terjadinya manajemen laba, yaitu : Bonus Purposes, The debt covenant
hypothesis, Political Motivations, Taxation Motivations, Pergantian CEO, dan
Initital Public Offering (IPO). Manajemen laba adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh pihak manajemen yang menaikkan atau menurunkan laba yang
dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai
hubungan dengan kenaikkan atau penurunan profitabilitas perusahaan untuk jangka
panjang. Dengan demikian, manajemen laba dapat diartikan sebagai suatu tindakan
manajemen laba yang mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat
ekonomi yang keliru kepada perusahaan, sehingga dalam jangka panjang hal
tersebut akan sangat menggangu bahkan membahayakan perusahaan. Definisi
manajemen laba (earnings management) menjadi dua, yaitu:
1.
Definisi
sempit
Earnings
management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Earnings
management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen
untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan
besarnya earnings.
2.
Definisi
luas
Earnings
management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang
dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa
mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang
unit tersebut.
Manajemen
laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan
keuangan eksternal dengan sengaja memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgment dalam pelaporan
keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga
menyesatkan stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka
akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan
akuntansi untuk mencapai tujuan khusus. Schipper (1989) mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses
pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa
keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba
sebagai tindakan seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan
(menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi
tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi
unit tersebut dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999),
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam
pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan,
dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa
stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil
perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang
dilaporkan.Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba
mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan
keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang
dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk
ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai
residu aktiva tetap, tanggung jawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan,
kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki
pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya.
Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja
ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap
informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Manajemen laba sebagai
bentuk dari manipulasi laporan keuangan, hingga saat ini belum mempunyai
batasan mengenai definisi dari manajemen laba.
2.1.4
Kinerja
Keuangan
Kinerja
keuangan merefleksikan kinerja fundamental perusahaan. Kinerja keuangan diukur
dengan data fundamental perusahaan, yaitu data yang berasal dari laporan
keuangan. Kinerja keuangan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan cash
flow return on asset (CFROA).
BAB
III
PEMBAHASAN
MASALAH
3.1 Mekanisme Corporate Governance
Menurut
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG), corporate governance
adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna
memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka
panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Dalam KNKG terdapat aspek-aspek dalam rangka
penyelenggaraan Corporate Governance yang baik, yaitu perusahaan wajib memiliki
:
·
Komisaris
independen : yang jumlahnya secara proporsional sebanding
dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan
ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30 persen dari jumlah
seluruh anggota komisaris.
·
Komite
audit : untuk menilai pelaksanaan good corporate
governance di perusahaan, adanya komite audit yang efektif merupakan salah satu
aspek dalam kriteria penilaian.
·
Dewan
komisaris : Prinsip-prinsip penting dalam dewan direksi yang
menjadi acuan dalam usaha bisnis di Indonesia, terutama dalam hal komposisi
dewan direksi yaitu komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pengambilan putusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen.
·
Kepemilikan
Institusional : Kemampuan manajer perusahaan untuk
mengelola laba secara oportunistik dapat dibatasi oleh efektivitas pengawasan
oleh para shareholder khususnya investor institusional.
·
Kepemilikan
manajerial : Pemusatan kepentingan dapat dicapai dengan
memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Jika manajer memiliki saham
perusahaan, mereka akan memiliki kepentingan yang sama dengan pemilik sehingga
dapat mengurangi konflik keagenan.
Corporate
governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan
bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima
return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan
dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan
bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau
menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan
dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan
bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).
Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan
atau menurunkan biaya keagenan (agency cost).
3.1.1
Kepemilikan
Institusional dan Manajemen Laba
Kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui
proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba.
Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi
proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005). McConell dan
Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999),
dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt et al., (2006) menemukan adanya
bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para
manajer. Cornet et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan
oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih
memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi
perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
3.1.2
Kepemilikan
Manajerial dan Manajemen Laba
Dari
sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi
yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen
laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak
sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut
akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan
ikut menentukan kebijakan dan
pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat
dikatakan bahwa persentase tertentu
kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Gideon,
2005). Warfield et al., (1995)
menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari
manajemen laba dan berhubungan
positif antara kepemilikan manajerial dengan kandungan informasi dalam laba. Hasil yang sama juga diperoleh
Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al.
(1982), Morck et al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003). Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba
3.1.3
Proporsi
Dewan Komisaris Independen dan Manajemen laba
Fama
dan Jensen (1983) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai
penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan
mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik
untuk melaksanakan fungsi monitoring
agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Hasil
penelitian Dechow, Patricia, Sloan dan Sweeney (1996), Klein (2002), Peasnell, Pope dan Young (2001),
Chtourou et al. (2001), Pratana dan Mas’ud (2003), dan Xie, Biao, Wallace dan Peter (2003) memberikan simpulan bahwa
perusahaan yang memiliki proporsi
anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi
tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan pengawasan, hal
ini juga akan berhubungan dengan
makin rendahnya penggunaan discretionary accruals (Cornett et al., 2006). Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba
3.1.4
Ukuran
Dewan Komisaris dan Manajemen Laba
Jensen
(1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner, Drobetz, Schmid dan Zimmermann (2003) merupakan yang
pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris
merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal ini diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000)
dalam Beiner et al. (2003) yang menegaskan
bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting. Mereka
juga menyarankan bahwa dewan
komisaris yang ukurannya besar kurang efektif daripada dewan yang ukurannya kecil.
Penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Beaslley (1996) dan Jensen (1993) juga menyimpulkan bahwa dewan
komisaris yang berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dewan komisaris
berukuran besar. Ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif
dalam menjalankan fungsinya karena
sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif
terhadap manajemen laba
3.1.5
Manajemen
Laba dan Kinerja Keuangan
Manajemen
laba dilakukan oleh manajer pada faktor-faktor fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan laporan
keuangan berdasarkan akuntansi
akrual. Padahal kinerja fundamental perusahaan tersebut digunakan oleh pemodal untuk menilai prospek
perusahaan, yang tercermin pada kinerja saham. Manajemen laba yang dilakukan manajer pada laporan keuangan
tersebut akan mempengaruhi kinerja
keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja saham (Haris, 2004).
Bryshaw dan Eldin (1989) menemukan bukti bahwa alasan manajemen melakukan manajemen laba adalah:
1.
skema kompensasi manajemen yang
dihubungkan dengan kinerja
perusahaan yang disajikan dalam laba akuntansi yang dilaporkan.
2.
fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat
mengakibatkan intervensi pemilik untuk
mengganti manajemen dengan pengambilalihan secara langsung.
Cornett et al., (2006)
menemukan adanya pengaruh mekanisme corporate governance terhadap penurunan
discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan berhubungan
positif dengan CFROA. Hasil ini diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa CFROA
merupakan fungsi positif dari indikator mekanisme corporate governance.
Mekanisme corporate governance dapat mengurangi dorongan manajer melakukan
earnings management, sehingga CFROA yang dilaporkan merefleksikan keadaan yang
sebenarnya. Manajemen laba berpengaruh
terhadap kinerja keuangan
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Mekanisme Corporate Governance
tidak memiliki pengaruh terhadap manajemen
laba. Hasil pengujian menyatakan bahwa dalam mekanisme Corporate Governance, baik kepemilikan
instutisional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen dan dewan komite audit serta struktur kepemilikan tidak
memiliki pengaruh terhadap manajemen
laba. Mekanisme Corporate Governance
memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan,
hal ini dijelaskan oleh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komisaris independen. Dan Manajemen
laba memiliki pengaruh terhadap terhadap
kinerja keuangan.
4.2
Saran
Bagi
perusahaan baiknya melakukan ancaman pemecatan, ancaman
pengambilalihan, dan penataan insentif manajer. Hal ini untuk mencegah
terjadinya kontrakdisi antara Corporate Governance dengan teori akuntansi
perusahaan dan manajemen laba dengan creative accounting. Karena akuntan adalah
pihak yang paling berperan untuk mengatasi praktik di dunia bisnis. Sedangkan
manajemen laba merupakan permasalahan moral yang paling penting bagi profesi
akuntansi.
Bagi
investor sebaiknya berhati-hati dalam pengambilan keputusan
bisnis, tidak hanya terfokus pada informasi laba, tetapi juga mempertimbangkan
informasi non keuangan, seperti keberadaan mekanisme internal perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ermayanti, Dwi. 2009.
“Kinerja Keuangan Perusahaan”. Dalam http://www.dwiermayanti.wordpress.com/2009/10/14/kinerjakeuanganperusahan/kuliah-akuntansi.htm
Isnanta, Rudi. 2008.
Pengaruh Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan Terhadap Manajemen Laba
dan Kinerja Keuangan. Skripsi FE Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Zarkasyi, Wahyudin.
2008. GCG Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan dan Jasa Keuagan Lainnya.
Bandung: Alfabeta.
Bangun dan Vincent.
2008. “Analisis Hubungan Komponen GCG terhadap Manajemen Laba Dengan Kinerja
Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI”. Jurnal Akuntansi
/Tahun XII, No 03
Hapsoro, Dody. 2008.
Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan : Studi
Empiris di Pasar Modal Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol. 19, No.
3.
LAMPIRAN
JUDUL JURNAL: MEKANISME
CORPORATE, MANAJEMEN LABA DAN KINERJA KEUANGAN
Manajer dan pemegang saham merupakan dua partisipan
terkait dalam sebuah perusahaan. Manajer dapat dikatakan sebagai agent dan
pemegang saham dapat dikatakan sebagai principal. Antara agent dan principal
pada praktiknya memiliki perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antara
agent dan principal ini terkait dengan teori keagenan. Teori ini
menyatakan bahwa setiap individu
memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya secara
maksimal.
Agent yang berperan
sebagai pengelola perusahaan berkewajiban untuk memberikan informasi
selengkapnya terkait dengan keadaan perusahaan kepada principal. Informasi yang
diberikan oleh agent kepada principal dituangkan dalam laporan keuangan. Akan
tetapi, terkadang informasi dan sinyal mengenai keadaan perusahaan yang
diterima oleh principal tidak sesuai atau tidak menggambarkan keadaan
perusahaan yang sebenarnya. Informasi yang di ketahui oleh agent berbeda dengan
informasi yang diterima oleh principal.
Manajemen laba adalah
tindakan dimana manajer dapat memodifikasi laporan keuangan baik itumenaikkan
atau menurunkan laba sesuai dengan keinginan dankepentingan manajer (agent).
Tindakan manajemen laba yang dikorbankan yakni kepentingan principal, tindakan
ini dapat dibatasi dengan mekanisme good corporate governance mekanisme good
corperate governance dapat meningkatkan pengawasan (monitoring) atas kinerja
manajer dalam mengelola perusahaan sehingga diyakini dapat mengurangi
terjadinya manajemen laba pada perusahaan.
Agent
dan Principal
Hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami hubungan antara manajer dan
pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) memandang bahwa
manajemen perusahaan sebagai agents bagi
para pemegang saham (principal),
akan bertindak dengan penuh kesadaran
bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai
pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.
Pemegang saham menilai kinerja manajer
berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan laba perusahaan karena pemegang saham menginginkan pengembalian yang lebih besar atas intevstasi
yang mereka tanam. Sedangkan manajer menginginkan kepentingannya diakomodasi
dengan pemberian kompensasi atau insentif yang sebesar- besarnya atas kinerja
dalam menjalankan perusahaan sehingga
manajer seringkali melakukan manipulasi saat melaporkan kondisi perusahaan
kepada pemegang saham. Perbedaan informasi yang dimiliki antara manajer dengan
pemegang saham tersebut menyebabkan kondisi perusahaan yang dilaporkan oleh
tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Keadaan tersebut
dikenal sebagai asimetri informasi.
Manajemen
Laba
Manajer dalam mengelola
perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih dan menggunakan pilihan-pilihan
yang tersedia sehingga termotivasi untuk memanipulasi pilihan tersebut dalam mencapai tingkat laba
tertentu sesuai tujuan spesifik manajer walaupun laba yang dihasilkan tersebut
tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Motivasi yang
melatarbelakangi terjadinya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer
menurut Scott dalam Wedari (2004), antara lain bonus purposes, political
motivations, taxation motivations, pergantian CEO, Initial Public Offering
(IPO), dan pentingnya memberi informasi kepada investor.
Good
Corporate Governance
Corporate governance
dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham (principal), pegelola (agent) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern
lainnya terkait hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2002) dalam Prasasti (2010).
Menurut Kaihatu (2006) dalam Prasasti (2010), terdapat lima prinsip dasar dari
corporate governance: Transparency (keterbukaan
informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Accountability (akuntabilitas), yaitu
kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Responsibility
(pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Independency
(independen), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip- prinsip korporasi yang sehat. Fairness (kewajaran), yaitu perlakuan
yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak Stakeholders yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Corporate governance diperlukan
untuk membatasi tindakan manajemen laba atau mengendalikan perilaku pengelola
perusahaan agar bertindak tidak hanya untuk kepentingannya sendiri melainkan
menyamakan kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan. Dalam penelitian ini mekanisme
good corporate governance, meliputi: (1) Kepemilikan Manajerial (2) Kepemilikan
Institusional (3) Ukuran Dewan Komisaris (4) Proporsi Dewan Komisaris
Independen (5) Keberadaan Komite Audit.
Hubungan
Good Corporate Governance dan Manajemen Laba
Informasi laba sangat
penting bagi stakeholder sebagai dasar pengambilan keputusan karena memiliki
nilai prediktif. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar
kinerja perusahaan tampak baik oleh pihak eksternal khususnya shareholder. Good
corporate governance merupakan mekanisme yang dikembangkan dalam rangka
meningkatkan kinerja perusahaan dan perilaku pihak manajemen yang menjamin bahwa manajemen bertindak yang terbaik bagi kepentingan stakeholder. Corporate governance mengatur pola hubungan antara
komisaris, direksi dan manajemen agar terjadi chek and balances dalam pengelolaan organisasi. Dengan adanya
mekanisme good corporate governance maka dapat mengurangi tindakan opportunis
manajer dalam melakukan manajemen laba, karena adanya pengawasan dan
pengendalian yang menjadi esensi utama dari mekanisme good corporate
governance. Menurut hasil penelitian Tangjitprom (2013) menunjukkan bahwa tata
kelola perusahaan yang baik berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian
Werner (2010) yang menyatakan bahwa praktik good corporate governance
berpengaruh signifikan terhadap praktik earnings management yang dilakukan
oleh perusahaan.
Variabel
Penelitian
Penelitian ini terdapat tiga jenis variabel, yaitu variabel terikat
(dependen), variabel bebas (independen), dan variabel moderasi. Variabel
terikat adalah variabel yang menjadi perhatian utama peneliti. Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah manajemen
laba dengan proksi discretionary accrual. Variabel bebas adalah variabel yang
mempengaruhi variabel terikat entah secara positif atau negatif. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah good corporate
governance dengan proksi tugas dan tanggung jawab komisaris, tugas dan
tanggung jawab direksi, kelengkapan dan tugas komite, penanganan benturan
kepentingan, fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, fungsi audit ekstern,
fungsi manajemen risiko dan pengendalian internal, penyediaan dana pihak
terkait dan debitur besar, transparansi, dan rencana strategik. Variabel
moderasi adalah variabel yang dapat memperkuat atau memperlemah hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat.
Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah
profitabilitas.
Definisi
Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Manajemen
laba adalah tindakan manajer untuk meningkatkan atau mengurangi laba yang
dilaporkan. Pendeteksian manajemen laba dalam
penelitian ini menggunakan model model akrual Beaver and Engel (1996)
dengan alasan model empiris ini sejalan dengan akuntansi berbasis akrual yang
digunakan oleh industri perbankan. Model ini menggunakan komponen penyisihan
kerugian pinjaman allowances for loan losses) dan provisi keuangan pinjaman
sebagai komponen pembentuk total akrual dalam industri perbankan. Model Beaver
and Engel (1996) dapat dirumuskan sebagai berikut : Persamaan I
2. Good
corporate governance adalah tata kelola perusahaan yang diterapkan untuk
mengurangi kesenjangan dari berbagai
pihak yang berkepentingan yaitu pemegang
saham, pengelola perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern
lainnya. Proksi yang digunakan untuk mengukur good corporate governance. Pada
penelitian ini, penilaian good corporate governance dicerminkan oleh nilai
komposit yang merupakan nilai kesimpulan atas self assessment yang juga dapat
menunjukkan seberapa baik suatu bank
menjalankan tata kelola perusahaan atau corporate governance.
Pengaruh
Good Corporate Governance terhadap Manajemen Laba
Good corporate
governance merupakan mekanisme yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan
kinerja perusahaan dan perilaku pihak
manajemen yang menjamin bahwa manajemen
bertindak yang terbaik bagi kepentingan
stakeholder. Corporate governance juga
mengatur pola hubungan antara komisaris, dirksi dan manajemen agar terjadi
check and balances dalam pengelolaan
organisasi. Dengan adanya mekanisme good corporate governance maka dapat
mengurangi tindakan oportunis manajer dalam melakukan manajemen laba, karena
adanya pengawasan dan pengendalian yang
menjadi esensi utama dari mekanisme good corporate governance. Namun hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa penerapan
good corporate governance yang diproksikan oleh nilai komposit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa perusahaan
dengan angka manajemen laba (DAit) yang kecil tidak selalu mencerminkan
penerapan good corporate governance
dengan nilai komposit yang baik. Tidak berpengaruhnya good corporate governance terhadap manajemen laba pada
penelitian ini disebabkan karena nilai komposit yang mencerminkan penerapan
good corporate governance secara keseluruhan atau komprehensif yang tidak berfokus dalam hal pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pihak principal kepada
manajer (agent) sehingga manajemen laba tidak dapat tercermin hanya dari nilai
komposit.
JUDUL JURNAL: CORPORATE
GOVERNANCE, UKURAN PERUSAHAAN, DAN LEVERAGE TERHADAP MANAJEMEN LABA PERUSAHAAN
MANUFAKTUR INDONESIA
Menurut
teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan antara pemilik dan pengelola
dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problems). Masalah tersebut yaitu
ketidaksejajaran kepentingan antara pemegang saham atau prinsipal (principal)
dengan manajer atau agen (agent). prinsipal maupun agen berusaha untuk
memaksimalkan kesejahteraan diri sendiri, sehingga ada kemungkinan besar agen
tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik prinsipal. Konflik ini tidak
terlepas dari kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri dengan
mengorbankan kepentingan pihak lain.
Laporan keuangan tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai media pertanggungjawaban manajer kepada
pemilik karena informasiinformasi yang terkandung disesuaikan dengan
kepentingan manajer. Aktivitas ini tidak hanya memberikan dampak negatif kepada
pemilik saja tetapi juga merugikan pihak lain yang menggunakan informasi
keuangan tersebut. Pihak yang berkepentingan akan melakukan kesalahan dalam
mengalokasikan sumber daya. Untuk mengurangi perilaku manajemen laba dan
meningkatkan kualitas laporan keuangan, maka perlu dilakukan tata pengelolaan
perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Penerapan
corporate governance dapat dilakukan melalui mekanisme
monitoring untuk menyelaraskan berbagai kepentingan antara lain:
(1) Memperbesar kepemilikan saham perusahaan
oleh manajemen (managerial ownership) (Jensen and Meckling, 1976), sehingga
kepentingan pemilik atau pemegang saham dapat disejajarkan dengan kepentingan
manajer.
(2) Kepemilikan saham oleh investor
institusional. Moh`d et al. (1998) dalam Midiastuty dan Mahfoedz (2003)
menyatakan bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor
agen dengan kepemilikannya yang besar.
(3) Melalui peran monitoring oleh dewan
komisaris (board of directors). Dechow et al. (1996) dan Beasley (1996)
menemukan hubungan yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan
pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan
komisaris mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelapora keuangan.
(4) Membentuk komite audit sebagai pengawas
perusahaan. Komite audit merupakan pihak yang membantu komisaris dalam rangka
peningkatan kualitas laporan keuangan serta peningkatan efektivitas eksternal
dan internal audit (Sulistyanto, 2008: 155).
Faktor
lain yang mempengaruhi praktik manajemen laba yaitu
ukuran perusahaan. Terdapat dua pandangan tentang bentuk ukuran perusahan
terhadap manajemen laba. Pandangan pertama, ukuran perusahaan yang kecil
dianggap lebih banyak melakukan praktik manajemen laba daripada perusahaan
besar. Hal ini dikarenakan perusahaan kecil cenderung ingin memperlihatkan
kondisi perusahaan yang selalu berkinerja baik agar investor menanamkan
modalnya pada perusahaan tersebut. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan
oleh masyarakat sehingga akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan
keuangan sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih
akurat (Nasution dan Setiawan, 2007). Akan tetapi, pandangan kedua memandang
ukuran perusahan mempunyai pengaruh positif terhadap manajemen laba. Watts and
Zimmerman (1990) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang memiliki
biaya politik tinggi lebih cenderung memilih metode akuntansi untuk mengurangi
laba yang dilaporkan dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil. Dalam kaitannya dengan leverage, salah satu
alternatif sumber dana perusahaan selain menjual saham di pasar modal adalah
melalui sumber dana eksternal berupa hutang. Perusahaan akan berusaha memenuhi
perjanjian hutang agar memperoleh penilaian yang baik dari kreditur. Hal ini
kemudian dapat memotivasi manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari
pelanggaran perjanjian hutang. Penelitian yang dilakukan oleh Dechow et al.
(1996) menemukan bahwa motivasi perusahaan melakukan manajemen laba adalah
untuk memenuhi kebutuhan pendanaan eksternal dan memenuhi perjanjian hutang.
Teori
Keagenan
Jensen and Meckling
(1976) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih
(prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Prinsipal adalah
pemegang saham atau investor, sedangkan agen adalah manajemen yang mengelola
perusahaan atau manajer. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan
fungsi antara kepemilikan di investor dan pengendalian di pihak manajemen.
Dengan adanya masalah-masalah konflik kepentingan dan biaya-biaya agensi yang
akan timbul maka diperlukan suatu konsep yang lebih jelas mengenai perlindungan
terhadap para stakeholders. Untuk itu, berkembang suatu konsep yang
memperhatikan dan mengatur kepentingankepentingan para pihak yang terkait
dengan pemilik dan pengoperasional suatu perusahaan yang dikenal dengan konsep
corporate governance.
Corporate
Governance dan Manajemen Laba
Kunci utama keberhasilan
GCG adalah membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang baik. Terwujudnya
keseimbangan pengawasan dan pengendalian pengelolaan perusahaan akan menjadi
penghambat bagi manajer untuk membuat kebijakan sesuai kepentingan pribadi
serta mendorong terciptanya transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas,independensi, dan keadilan
Kepemilikan
Manajerial dan Manajemen Laba
Shleifer and Vishny
(1997) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai
ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika
kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya
perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Hasil penelitian Warfield et al.
(1995), Midiastuty dan Machfoedz (2003), Ujiyantho dan Pramuka (2007), dan Ali et
al. (2008) menemukan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai hubungan negatif
dengan manajemen laba. H1a: Kepemilikan manajerial berpengaruh secara negatif
terhadap manajemen laba.
Kepemilikan
Institusional dan Manajemen Laba
Investor institusional
dikatakan sebagai investor yang sophisticated sehingga dapat melakukan fungsi
monitoring secara lebih efektif dan tidak percaya dengan tindakan manipulasi
oleh manajer seperti tindakan manajemen laba. H1b: Kepemilikan institusional
berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba..
Ukuran
Dewan Komisaris dan Manajemen Laba
Semakin banyaknya
anggota dewan komisaris maka akan menyulitkan dalam menjalankan peran mereka,
di antaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari
masing-masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan
mengendalikan tindakan dari manajemen, serta kesulitan dalam mengambil
keputusan yang berguna bagi perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
ukuran dewan komisaris maka semakin besar kemungkinan terjadi manajemen laba.
Komposisi
Dewan Komisaris Independen dan Manajemen Laba
bahwa proporsi anggota
dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan berhubungan negatif dengan
manajemen laba karena anggota komisaris dari luar dapat meningkatkan tindakan pengawasan.
Komite
Audit dan Manajemen Laba
menyatakan bahwa komite
audit perlu secara aktif melakukan pekerjaan dengan mengambil bagian dalam
pertemuan komite audit. H1e: Komite
audit berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba.
Ukuran
Perusahaan dan Manajemen Laba
bahwa ukuran perusahaan
mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap besaran pengelolaan laba.
Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan
lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak
perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat. (Nasution dan Setiawan,
2007). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar perusahaan semakin kecil
pengelolaan laba yang dilakukan.
Leverage
dan Manajemen Laba
Semakin dekat
perusahaan ke arah pelanggaran persyaratan hutang yang didasarkan atas angka
akuntansi maka manajer lebih cenderung untuk memilih prosedurprosedur akuntansi
yang memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan, leverage mempunyai
hubungan positif dengan manajemen laba.
JUDUL JURNAL: MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE DALAM
PERUSAHAAN YANG MENGALAMI PERMASALAHAN KEUANGAN
Corporate
Governance (CG) merupakan tata kelola perusahaan
yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan
arah dan kinerja perusahaan (Monks & Minow 2001). Isu mengenai CG ini mulai
mengemuka, khususnya di Indonesia, setelah Indonesia mengalami masa krisis yang
berkepanjangan sejak tahun 1998. Banyak pihak yang mengatakan lamanya proses
perbaikan di Indonesia disebabkan oleh sangat lemahnya CG yang diterapkan dalam
perusahaan di Indonesia. Sejak saat itu, baik pemerintah maupun investor mulai
memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktek CG. Daiam suatu
perusahaan, dewan memegang peranan yang sangat signifikan bahkan peran yang
utama dalam penentuan strategi perusahaan tersebut. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk membandingkan bagaimana praktek CG dalam perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan dengan perusahaan yang sehat secara keuangan. Penelitian ini
akan meneliti struktur CG yang berkaitan dengan dewan, diantaranya adalah
ukuran dewan komisaris, independensi dari komisaris, dan struktur kepemilikan
perusahaan. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penelitian
mengenai perusahaan yang mengalami tekanan keuangan dan bagaimana pengaruh
variabel mekanisme CG dalam melihat pengaruh strategi implementasi CG terhadap
kemungkinan perusahaan mengalami tekanan keuangan. Pentingnya dewan dalam
struktur CG memberikan intuisi bahwa dewan memiliki kekuatan untuk menentukan
keberhasilan perusahaan. Salah satu ukuran keberhasilan perusahaan dapat
dilihat dari kondisi keuangan yang dihadapinya. Keberadaan dan karakteristik
dewan sebagai salah satu motor penggerak CG akan menentukan tingkat kesehatan
keuangan perusahaan. Penelitian ini akan meneliti pengaruh dari struktur CG
yang dilihat dari karakteristik dewan terhadap tingkat tekanan keuangan yang
dihadapi oleh perusahaan. Struktur CG yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah ukuran dewan komisaris, independensi dari komisaris, dan struktur
kepemilikan perusahaan.
Ukuran Dewan Komisaris
Salah satu fungsi utama
dari anggota board o f directors (di Indonesia merupakan fungsi
dari komisaris, sehingga interpretasi dari board o f directors dalam
penelitian ini mengacu pada istilah komisaris) adalah melakukan monitoring
terhadap kinerja direksi sebagai pihak yang mengelola operasional
perusahaan. Pentingnya dewan komisaris tersebut kemudian menimbulkan
pertanyaan baru, berapa banyak dewan yang dibutuhkan perusahaan? Apakah
dengan semakin banyak dewan komisaris berarti perusahaan dapat
meminimalisasi permasalahan agensi antara pemegang saham dengan direksi?
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perusahaan yangmemiliki ukuran
dewan komisaris yang besar tidak bisa melakukan koordinasi, komunikasi, dan
pengambilan keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang
memiliki dewan yang kecil sehingga nilai perusahaan yang memiliki dewan yang
banyak lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki direksi lebih
sedikit (Jensen 1993; Lipton and Lorsch 1992; Yermack 1996). Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dewan komisaris
merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting dalam CG, dimana keberadaannya
menentukan kinerja perusahaan, khususnya kinerja keuangan.
Independensi Dewan
Komisaris
Salah satu
permasalahan dalam penerapan CG adalah adanya CEO yang memiliki kekuatan yang
lebih besar dibandingkan dengan dewan komisaris. Padahal fungsi komisaris ini
adalah untuk mengawasi kinerja dari direksi yang dipimpin oleh CEO tersebut.
Konteks independensi ini menjadi semakin kompleks dalam perusahaan yang sedang
mengalami kesulitan keuangan. Pfeffer & Salancik (1978) menyatakan bahwa
dengan semakin meningkatnya tekanan dari lingkungan perusahaan maka kebutuhan
akan dukungan dari luar juga semakin meningkat.
Struktur
Kepemilikan
Kemungkinan
suatu perusahaan berada pada posisi tekanan keuangan juga banyak
dipengaruhi oleh struktur kepemilikannya. Struktur kepemilikan tersebut
menjelaskan komitmen dari pemiliknya untuk menyelamatkan perusahPenelitian yang
dilakukan oleh Classens et al. (1996) mengenai struktur kepemilikan di
Republik Ceko menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan akan lebih tinggi
apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh lembaga keuangan yang disponsori
oleh bank. Hal
ini menjelaskan bahwa bank, sebagai pemilik perusahaan, akan menjalankan fungsi
monitoring-nya dengan lebih baik dan investor percaya bahwa bank tidak
akan melakukan ekspropriasi atas aset perusahaan. Selain itu, apabila
perusahaan tersebut dimiliki oleh perbankan maka apabila perusahaan tersebut
menghadapi masalah keuangan maka perusahaan akan lebih mudah mendapatkan
suntikan dana dari bank tersebut. Classens et al. (1999) menyatakan bahwa Investor institusional di sini merupakan
institusi keuangan yang mencakup perusahaan asuransi, bank, dana pensiun dan
perusahaan investasi (investment banking) kepemilikan oleh bank
akan menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan. Namun, apabila
struktur kepemilikan perusahaan dimiliki oleh dewan direksi atau dewan
komisarisnya maka dewan tersebut justru akan cenderung melakukan
tindakan-tindakan ekspropriasi yang menguntungkannya secara pribadi Oleh karena
itu dengan kepemilikan perusahaan dimiliki oleh direksi semakin meningkat maka
keputusan yang diambil oleh direksi akan lebih cenderung untuk menguntungkan
dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan sehingga kemungkinan
nilai perusahaan akan cenderung mengalami penurunan.
Analisis
Hasil Model Logit
Pengujian
pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengujian dengan menggunakan
model logit di mana akan dilihat hubungan kemungkinan perusahaan akan mengalami
tekanan keuangan pada suatu periode dengan penerapan mekanisme CG pada periode
yang sama dengan variabel ukuran perusahaan dan leverage sebagai
variabel pengendali. Hasil pengujian pada model ini adalah sebagai berikut:
Ln (p/l-p) = DISTRESSEDt = -3.874 + .921COM_SIZEt + -3.210INDEP_
COMt + A35%FIN_INS_OWNt + .156%BOARD_
OWN+ 721 SIZE (+ 3.647LEVf
Variabel
komisaris independen ternyata tidak signifikan dalam pengujian ini. Hal ini
menunjukkan bahwa berapapun proporsi komisaris independen dalam suatu
perusahaan, kemungkinan perusahaan tersebut mengalami tekanan keuangan adalah
sama. Dengan kata lain proporsi komisaris independen tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemungkinan perusahaan berada pada kondisi tekanan
keuangan. Penjelasan dari hasil ini adalah kemungkinan adanya komisaris independen
dalam perusahaan yang diobservasi hanyalah bersifat formalitas untuk memenuhi
regulasi saja. Sehingga keberadaan komisaris independen ini tidak untuk
menjalankan fungsi monitoring yang baik dan tidak menggunakan
independensinya untuk mengawasi kebijakan direksi. Selain itu nilai komisaris
independen yang kurang signifikan ini mungkin disebabkan oleh belum
diharuskannya pengangkatan komisaris independen sebelum tahun 2001, sehingga
dalam observasi penelitian dari 1999 hingga 2001 perusahaan belum menetapkan
adanya komisaris independen tersebut. Dari sudut struktur kepemilikan
penelitian ini menunjukkan bahwa berapapun persentase kepemilikan oleh
institusi keuangan dalam suatu perusahaan, kemungkinan perusahaan tersebut
mengalami tekanan keuangan adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa investor
institusional sebagai pemilik tidak membantu perusahaan ketika perusahaan
berada dalam kondisi tekanan keuangan. Kepemilikan oleh institusi keuangan pada
awalnya dikatakan dapat mendukung perusahaan ketika perusahaan sedang berada
dalam kesulitan keuangan dengan melakukan penyuntikan dana. Ternyata hal
tersebut tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini. Selain itu, berapapun
persentase kepemilikan oleh direksi dan komisaris dalam suatu perusahaan,
kemungkinan perusahaan tersebut mengalami tekanan keuangan adalah sama.
Kepemilikan oleh direksi dan komisaris dapat dianggap akan memperburuk kondisi
perusahaan karena apabila direksi menjadi pemilik perusahaan maka akan terjadi
kemungkinan ekspropriasi, dan di sisi lain kepemilikan oleh direksi dan
komisaris akan menurunkan konflik agensi dan pada akhirnya akan meningkatkan
nilai perusahaan.
JUDUL JURNAL: Mekanisme
Corporate Governance, Manajemen Laba Dan Kinerja Perusahaan (Studi Empiris Pada
Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI)
Manajemen
laba merupakan usaha pihak manajer yang disengaja untuk memanipulasi laporan
keuangan dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi.
Manajemen laba ini muncul akibat dari hubungan keagenan karena principal dan
agent (manajer) yang termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik kepentingan. Mekanisme corporate governance meliputi:
memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (manajerial ownership)
(Jensen dan Meckling, 1976);memperbesar kepemilikan saham oleh institusional
(Midiastuty dan Machfoedz, 2003); peran monitoring oleh dewan komisaris
independen (Ujiyantho dan Pramuka, 2007), serta keberadaan komite audit.
Pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris
independen dan dewan komisaris secara bersama-sama berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Kepemilikan
Manajerial dan Manajemen Laba
Manajemen laba sangat
ditentukan oleh motivasi manajer. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti
antara manajer yang juga sekaligus
sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Hal ini sesuai dengan sistem
pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria: (a) perusahaan dipimpin oleh manajer dan pemilik; dan (b) perusahaan yang
dipimpin oleh manajer dan non
pemilik. Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi
tindakan manajemen laba (Boediono, 2005).
Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan bahwa kepemilikan manajerial mempengaruhi kualitas laba. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan
manajerial maka discretionary accrual semakin rendah. Jensen dan Meckling
(1976) menemukan bahwa kepemilikan
manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk
mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan
kepentingankepentingan manajer
dengan pemegang saham. Penelitian mereka membuktikan bahwa kepentingan manajer dengan pemegang saham eksternal dapat
disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga manajer tidak
akan memanipulasi laba untuk kepentingannya.
Kepemilikan
Institusional dan Manajemen Laba
Boediono (2005)
membuktikan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap
tindakan manajemen laba. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kepemilikan
saham oleh institusi, maka semakin tinggi besaran manajemen laba pada laporan
keuangan. Hal ini sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa institusional
adalah pemilik sementara dan lebih memfokuskan pada laba jangka pendek (Porter
(1992) dalam Boediono (2005). Kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu
institusi biasanya mencerminkan kekuasaan, sehingga mempunyai kemampuan untuk
melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan dan mengatur proses
penyusunan laporan keuangan. Akibatnya manajer terpaksa melakukan tindakan
berupa manajemen laba demi untuk memenuhi keinginan pihak-pihak tertentu,
diantaranya pemilik.
Komisaris
Independen dan Manajemen Laba
Komposisi dewan
komisaris dapat mempengaruhi manajemen dalam menyusun laporan keuangan melalui perannya dalam menjalankan fungsi
pengawasan sehingga dapat diperoleh
suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005).
Komite
Audit dan Manajemen Laba
Komite audit
bertanggung jawab mengawasi laporan keuangan, audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal
(termasuk audit internal). Selain itu dapat
mengurangi sifat opportunistic manajemen yang melakukan earnings management
dengan cara mengawasi pelaksanaan
audit eksternal (Siallagan dan Machfoedz (2006)). Price Waterhouse (1980) dalam Sari (2008) menyatakan bahwa
investor, analis dan regulator
menganggap komite audit memberikan kontribusi dalam kualitas pelaporan keuangan.
Kepemilikan
Manajerial dan Kinerja Perusahaan
Kepemilikan manajerial
akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga
berdampak buruk terhadap perusahaan.
Dengan kepemilikan manajerial yang tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai
posisi kuat mengendalikan perusahaan.
Kepemilikan
Institusional dan Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan
dipengaruhi oleh beberapa faktor di mana salah satunya adalah kepemilikan institusional. Semakin
tinggi kepemilikan institusional semakin kuat kontrol eksternal terhadap perusahaan. Kepemilikan oleh investor
institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Kinerja perusahaan dapat meningkat jika
institusi mampu menjadi alat monitoring yang efektif.
Komisaris
Independen dan Kinerja Perusahaan
Salah satu fungsi utama
komisaris independen adalah menjalankan fungsi monitoring yang bersifat
independen terhadap kinerja manajemen. Keberadaan komisaris independen tidak
terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang
saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
Komite
Audit dan Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan akan
baik jika perusahaan mampu mengendalikan perilaku para eksekutif puncak
perusahaan untuk melindungi kepentingan pemegang saham, salah satunya dengan
keberadaan komite audit.
Manajemen
Laba dan Kinerja Perusahaan
Manipulasi kinerja
merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporan keuangan yang bertujuan
menyesatkan pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja (Healey dan Wahlen,
1998; Du Charme et al., 2000 dalam Hastuti, 2005).
JUDUL
JURNAL: MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE, KUALITAS LABA DAN NILAI PERUSAHAAN
Laba
merupakan indicator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja operasional
perusaan. Penyusun earnings dilakukan oleh manajemen yang lebih mengetahui
kondisi didalam perusahaan, kondisi tersebut diprediksi oleh dechow (1995).
Dapat menimbulkan masalah karena manajemen sebagai pihak yang memberikan
informasi tentang kinerja perusahaan dievaluasi dan dihargai berdasarkan
laporan yang dibuatnya sendiri. Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh
manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para
principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan. Kemampuan dewan
komisaris untuk mengawasi merupakan fungsi yang positif dari porsi dan
independensi dari dewan komisaris eksternal.
Jansen dan Meckling (1976), Watts dan Zimmerman (1986)
menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi
diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan.
Dengan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggungjawaban
kinerjanya, principal dapat menilai, mengukur, dan mengawasi sampai sejauh mana
agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta memperoleh
kompensasi kepada agen.
Kepemilikan
Manajerial
Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang
dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar
dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976). Sehingga permasalahan keagenan
diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai
seorang pemilik (pemegang saham).
Dewan
Komisaris
Penelitian Beasley (1996) menguji hubungan antara
proporsi dewan komisaris dengan kecurangan pelaporan keuangan. Dengan
membandingkan perusahaan yang melakukan kecurangan dengan perusahaan yang tidak
melakukan kecurangan, mereka menemukan bahwa perusahaan yang melakukan
kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan.
Komite
Audit
Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan
keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati system pengendalian internal
(termasuk audit internal) dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen yang
melakukan manajemen laba (earnings management) dengan cara mengawasi laporan
keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal. Dapat disimpulkan bahwa
komite audit dapat mengurangi aktivitas earning management yang selanjutnya
akan mempengaruhi kualitas pelaporan keuangan yang salah satunya adalah
kualitas laba.
Kualitas
Laba dan Nilai Perusahaan
Beberapa teknik manajemen laba (earnings management)
dapat mempengaruhi laba yang dilaporkan oleh manajemen. Praktik manajemen laba
akan mengakibatkan kualitas laba yang dilaporkan menjadi renda. Earnings dapat
dikatakan berkualitas tinggi apabila earnings yang dilaporkan dapat digunakan
oleh para pengguna (user)untuk membuat keputusan yang terbaik, dan dapat
digunakan untuk menjelaskan atau memprediksi harga dan return saham (Bernard
dan Stober, 1998).
Mekanisme
Corporate Governance dan Nilai Perusahaan
Black et al. (2003) beragumen bahwa pertama, perusahaan
yang dikelola dengan lebih baik akan dapat lebih menguntungkan sehinggga dapat
dividen yang lebih tinggi. Kedua, disebabkan oleh karena investor luar dapat
menilai earnings atau dividen yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan
yang menerapkan corporate governance yang lebih baik. Hasil menunjukan bahwa
tidak ditemukan bukti bahwa investor menilai earnings atau arus dividen yang
sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan corporate governance
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar